Separatisme, Nasionalisme NKRI Diragukan
Tuesday, August 7, 2007
TARIAN Cakalele itu membuat gempar bangsa ini. Rakyat marah. Demonstrasi terjadi, menghujat bahkan tak segan melukai siapa-siapa yang terlibat. Maluku resah. Sementara seorang mantan intelejen memaparkan kekhawatiran akan meluasnya separatisme. Lalu kemana nasionalisme? Apa membakar bendera RMS adalah kobaran dari semangat nasionalisme?
Siapa yang tidak tergelitik dengan tarian cakalele dalam acara pembukaan Hari Keluarga Nasional ke XIV di Ambon, Maluku, Jumat pagi (29/6). Sebanyak 20 orang penari sukses membuat presiden SBY yang hadir dalam acara itu geram. "Saya meminta para pelaku diusut sesuai dengan hukum yang berlaku," kata Presiden kepada tamu yang hadir, seperti dikutip dalam tempointeraktif.com.
Setelah tarian berdurasi lima menit itu, bergulirlah berbagai wacana yang hebat. Lagi-lagi Indonesia menjadi sorotan mancanegara. Isu separatisme mencuat ke permukaan. Diskusi demi diskusi pun digelar, membahas ’hantu’ separatisme itu.
Seperti yang dilaporkan detik.com (7/7), dalam diskusi Mengungkap Eksistensi Separatisme di Menara Kebon Sirih, Hendropriyono mantan kepala BIN mengungkapkan kekhawatirannya. Hendro mengutarakan saat ini separatisme diyakini sudah semakin meluas. Papua diperkirakan bakal menjadi yang kedua terlepas dari NKRI jika pemerintah tidak segera mengatasi konflik disana. Dan lima tahun lagi tidak menutup kemungkinan Borneo lepas.
Dalam diskusi lain bertema Dibawah Bayang-Bayang Separatisme yang dihelat di Mario Place Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, (7/7) detik.com melaporkan bahwa intelejen asing dianggap mempunyai andil dalam munculnya separatisme. Rakyat Maluku dan Papua kemungkinan malah tidak mudheng dengan separatisme dan tidak menginginkannya. ”Orang Maluku sudah puas dengan Indonesia. Di Papua orang juga tidak paham dengan separatisme. Yang terjadi orang-orang tertentu di kedua daerah itu dipakai orang asing untuk kepentingan mereka,” kata mantan Kasdam Trikora Brigjen Purn Rustam Kastor, seperti dilaporkan detik.com.
Yang menjadi persoalan sekarang, mengapa bisa sampai seperti itu? Separatisme meluas. Menjadi kekhawatiran pula, benarkah hanya mereka yang di wilayah timur yang tidak tahu apa itu separatisme? Atau bahkan hampir seluruh bangsa ini sudah lupa dengan kata nasionalisme? Lebih nakal lagi, muncul pertanyaan dalam diri penulis, apa yang dimaksud dalam kutipan Rustam bahwa orang Maluku sudah puas dengan Indonesia? Lalu siapa Indonesia yang dimaksud?
Teringat pula saya dengan cuplikan sajak WS Rendra berjudul Demi Orang Orang Rangkas Bitung sebagai berikut;
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka?
Separatisme Vs Nasionalisme
Separatisme politis menurut wikipedia adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Masih menurut ensiklopedia online ini, istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral seperti determinasi diri.
Alasan ketidakpuasan terhadap pemerintahan agaknya yang membuat beberapa daerah, dengan beberapa tokoh didalamnya membangkitkan gerakan pemisahan diri dari NKRI. Mempunyai kedaulatan sendiri, mengolah sumber daya sendiri diyakini gerakan ini dapat lebih mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Memang motivasi separatisme sebagian besar karena kepentingan politik dan ekonomi. Tapi beberapa juga ada yang muncul dengan basis religius.
Bisa jadi, gerakan-gerakan separatis yang timbul di negeri ini seperti kekhawatiran Rustam karena ditunggangi oleh kepentingan asing. Tapi pemerintah juga harus intropeksi diri. Apakah nahkoda arah perjuangan pasca kemerdekaan ini sudah sesuai dengan cita-cita nasionalisme? Tercapainya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai timbul polemik keraguan identitas kebangsaan. Benar kata Rendra dalam sajaknya, ”Apakah Bangsa anda juga sudah merdeka?”
Indonesia bukan hanya milik segelintir penduduk di Pulau Jawa yang notabene adalah tempat para penguasa NKRI berada. Tapi Indonesia adalah dari sabang sampai merauke, meski sudah ada gompal di Timor Timur.
Jika sudah ada perasaan Maluku itu Indonesia, Papua itu Indonesia dan lain sebagainya di NKRI adalah Indonesia, kemudian, pemerintah menjalankan pemerintahan seadil-adilnya, niscaya, hantu yang akhir-akhir ini ditakuti tak akan muncul.
Gol dari gerakan separatisme terbukti tidak selalu membawa kebaikan bagi rakyat. Tidak usah jauh menengok, negara muda Timor Leste dalam Indeks Kegagalan Negara yang disusun Fund for Peace, sebuah organisasi penelitian independen di Washington, Timor leste berada di urutan ke-20 dalam kategori berbahaya.
Negara-negara muda yang terbentuk dari perpecahan terbukti punya kesulitan untuk tetap eksis. Dan, itu bisa menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk lebih menghargai suatu kesatuan dan mengerti betul nasionalisme. Salah satu cara pendekatan yang biasa digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalis adalah dengan melacak kembali atau flashback sejarah bangsa ini sebelum mencapai kemerdekaan hingga sekarang. Mulai dari perjuangan kedaerahan, lahirnya Budi Utomo, Sumpah Pemuda, lalu Proklamasi yang menggetarkan dan sampai pada masa ini.
Akan tetapi perlu digarisbawahi, paham nasionalisme yang mendasari kesatuan bangsa hendaknya tidak dikotori dengan pemahaman sempit. Nasionalisme tidak hanya ditujukan pada pengabdian pada negara politis. Nasionalisme bukan paham yang membela mati-matian suatu negara, benar atau salah negara itu. Karena itu hanya akan menimbulkan kejahatan baru, rasialisme dan pengangkangan terhadap kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.
Kebangkitan Nasional
Sebagai generasi penerus, diakui penulis, saat ini kata nasionalisme masih jauh diawang awang. Untuk sekadar pengertian nasionalisme sesuai dengan kamus besar bahasa Indonesia, tentu generasi muda sudah hapal betul. Nasionalisme merupakan paham atau ajaran untuk mencintai BANGSA dan NEGARA sendiri. Tapi pengertian yang sederhana tersebut agaknya sudah terkotori dan menempatkan nasionalisme sebagai suatu ideologi yang hanya dimiliki kaum elite nasionalis yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang terbentuknya negara ini. Dan akhirnya menjadi sebuah hal ekslusif mendukung kepentingan kelompok tertentu.
Untuk itu harus segera diluruskan, bahwa nasionalisme adalah wacana publik dan lepas dari institusi negara. Setiap orang bebas ber-ekspresi kreatif terhadap wacana nasionalisme. Sehingga demokrasi tercapai dan kemerdekaan seutuhnya milik bangsa dan negara.
Saya sangat yakin, nasionalisme tidak mati dalam jiwa bangsa ini. Hanya saja sebagian tertidur karena terlena dengan keadaan. Dibutuhkan kebangkitan semangat nasionalisme dalam tiap individu di NKRI.
Ada yang menarik dari perbincangan saya dengan pak Yono tukang sol sepatu di daerah Waru-Sidoarjo, beberapa pekan sebelum insiden tarian cakalele. Perbincangan untuk mengusir rasa bosan menunggu sepatu kets butut keluaran converse dipermak. Perbincangan yang membuka mata, wong cilik bisa menjadi sang guru bijak. Rakyat Indonesia tidak bodoh, dan sangat rindu cita-cita kemerdekaan.
Sangat sopan dan hati-hati. Sang guru itu selalu memaparkan uneg-uneg dengan ‘nuwun sewu’. Mulai dari memaparkan tentang kehidupan yang tidak dapat diterka, hingga kadaan bangsa saat ini. ”Nuwun sewu. Semua itu berasal dari pribadi masing-masing. Yen kabeh podo mboten mikirno awake dewe-dewe, saling sayang, saling dukung, Insya Allah Indonesia saget maju,” kata sang guru.
Menakjubkan! Itulah unsur yang hilang dalam NKRI, perasaan saling sayang, saling dukung dan tidak egois. Seakan kita sudah lupa bahwa tanah air kita satu Indonesia, bangsa kita satu Indonesia, dan kita berbahasa satu Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya slogan di pita yang dibawa Garuda. Tapi sebagai pengingat kita, ditengah iklim multikultural ini memang sangat rawan dengan perpecahan.
(ini opini saya yang muat di ITSOnline, 10 Mei 2007)